Senin, 05 Desember 2011

prfil arang -orang sukses


Sukyatno Nugroho   - Es Teler 77


Anak yang bodoh di sekolah belum tentu tidak sukses dalam hidupnya di kemudian hari. ?Sekolah saya enggak pintar, bahkan enggak suka sekolah,? kenang Presiden Direktur Es Teler 77 tentang masa kecilnya. Dua kali tidak naik kelas, dan yang naik pun berada di rangking 40-an di antara 50 siswa. Karena itulah SMA-nya cuma tiga bulan.


Akhirnya kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, ini dikirim ayahnya, Hoo Ie Kheng, ke Jakarta, kepada pamannya. Ke Ibu Kota dengan harapan melanjutkan sekolah, tapi apa kata sang paman? ?Enggak usah sekolah, nanti saya latih dagang saja,? ujar Sukyatno menirukan ucapan pamannya. Beberapa tahun kemudian, Sukyatno sukses dengan Es Teler 77 yang juga memiliki cabang di Malaysia, Singapura, Australia, dengan total pekerja tiga ribu orang. Dan penyandang gelar doktor honoris causa ini malah berceramah di banyak universitas tentang bisnis franchise.


Awalnya, pria yang dulu bernama Hoo Tjioe Kiat ini menjadi penjaja (salesman) macam-macam barang: kancing baju, sisir, barang elektronik. Setiap hari dari Pasar Pagi, Jakarta Barat, ia naik oplet atau sepeda ke Jatinegara dan Jalan Sudirman, keduanya di Jakarta Pusat ?yang dulu banyak dipenuhi toko besi?lalu ke Tanjungpriok, Jakarta Barat. Tidak mau mengaku di mana tempat berjualannya, ia pernah dicurigai menjual barang-barang curian.


?Saya sempat putus asa,? kata Sukyatno. Pamannya memberi pelajaran: ?Kalau kamu datang sekali enggak bisa, datangi seribu kali. Kalau itu saja kamu enggak bisa, berarti kamu goblok.?


Sambil tetap berjualan barang, Sukyatno juga mencoba jadi tengkulak jual-beli tanah dan agen pengurusan surat izin mengemudi. Sampai pada suatu ketika, 1978, ia menjadi pemborong, membangun rumah dinas pesanan sebuah departemen. ?Ketika bangunannya hampir jadi, saya mau dikeroyok orang kampung. Ternyata itu tanah sengketa,? tuturnya. Akibatnya, ia terpuruk utang, sampai untuk bayar uang sekolah anaknya saja ia tidak mampu.


Ternyata Sukyatno mampu bangkit. Setelah membuka salon, ia membuat usaha es teler, terinspirasi mertuanya yang menang lomba membuat es teler. Namanya Es Teler 77 Juara Indonesia, pertama kali dibuka pada 7 Juli 1982. Selain mudah diingat, 77 adalah angka keberuntungan, katanya. Dari tenda-tenda di emperan pertokoan, ia pindah ke Jalan Lombok I dan Jalan Pembangunan, keduanya di Jakarta Pusat, karena digusur. Di dua tempat ini masih berkonsep kaki lima juga.

Lalu, bermodal nekat, pada 1987 ia pun membuka franchise di Solo dan Semarang, Jawa Tengah, sampai sekitar seratus buah. Ia akhirnya mulai masuk plaza, 1994. Selain es teler, ia juga berjualan mi tektek dan ikan bakar.


Walau sudah sukses, Sukyatno tetap merasa rakyat kecil. Menurut dia, itu karena ia terbiasa hidup sengsara sejak kecil?pada usia enam tahun sudah ditinggal ibunya, Lee Kien Nio, yang meninggal. ?Sampai sekarang saya masih senang makan di kaki lima, pakai pakaian biasa-biasa,? katanya.


Berkeinginan keras dan tekun, pantang menyerah, dan fokus menekuni satu bidang usaha merupakan kiat sukses Sukyatno.


Menikah dengan Yenny Setia Widjaja, yang saat itu juga berjualan, 1970, Sukyatno ayah tiga anak. Ia sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya, yang semuanya disekolahkan ke luar negeri. Ia juga mendidik mereka agar punya kepedulian sosial.
































SUDONO SALIM

Di cakrawala ekonomi dan bisnis Indonesia, nama Liem Sioe Liong sudah menjadi legenda. Banyak yang lupa: hampir setengah abad yang lalu, pemuda perantau dari Futsing, Hokkian, Cina Selatan, itu memulai upayanya dengan magang pada seorang paman yang berdagang jagung, beras, kedelai -- antara lain.

Lahir sebagai Lin Shao-liang, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie, yang sudah mendarat di Jawa sembilan tahun lebih awal. ''Dua tahun pertama di Indonesia amat berat,'' tutur Shao-liang, yang belakangan dikenal juga dengan nama Sudono Salim.

Ketika Jepang datang, ia mulai berdagang minyak kacang kecil- kecilan di Kudus, Jawa Tengah. Kemudian mencoba nasib sebagai penyalur cengkih di kota sigaret kretek itu. Lalu, datanglah nasib baik serentak dengan saat pecahnya Revolusi 1945. Liem membantu Republik, yang membutuhkan banyak dana melawan Belanda.

Tetapi, ketika Jepang menyerah, ia sempat disrempet musibah. Berkarung-karung uang Jepang miliknya mendadak dinyatakan tidak laku, karena pemerintah menerbitkan uang baru. Ketika itu, tiap orang menerima satu rupiah uang baru tadi. ''Keluarga saya delapan orang, jadi dapat delapan rupiah, wah, edan,'' katanya mengenang.

Liem lalu mengubah taktik dagangnya. ''Bisnis itu tidak boleh atas dasar uang, tapi harus atas dasar barang,'' ia seperti memberi nasihat. Sejak itu pula ia lebih memusatkan usaha diversifikasi. Toh, ia merasa tidak bisa bergerak lincah di zaman Bung Karno. ''Dulu dagang susah, orang banyak bicara,'' katanya. ''Tapi sejak Orde Baru, dipimpin oleh Presiden Soeharto, saya ambil keputusan: apa yang harus dilakukan sebagai orang dagang.'' Dengan Pak Harto, Liem mengaku baru kenal setelah 1950-an, di Semarang.

Kini, bos perusahaan induk Liem Investors di Hong Kong, dan PT Salim Economic Development Corporation (SEDC) di Jakarta, itu sering disebut sebagai ''pengusaha terkaya nomor enam di dunia''. Jumlah hartanya mengalahkan keluarga Rotschild dan Rockefeller. Pada 1984, kekayaan kelompok ini ditaksir sekitar US$ 7 milyar. Artinya, sama dengan jumlah uang yang beredar di Indonesia ketika itu yang, menurut beberapa sumber, meliputi sekitar Rp 7 trilyun.

Liem pindah ke Jakarta pada 1951, dan mulai mengembangkan usahanya. Mula-mula ia mendirikan pabrik sabun, kemudian pabrik paku, ban sepeda, pengilangan karet, kerajinan, dan makanan. Ia juga bergerak di bidang pengusahaan hutan, bangunan, perhotelan, asuransi, perbankan, bahkan toko pakaian. Kunci sukses baginya adalah jasa. ''Kalau jasa itu jalannya betul, otomatis bisa jual lancar,'' katanya, dalam bahasa Indonesia yang tetap patah-patah.Namun, Liem keberatan usahanya dikatakan menerobos ke semua penjuru bisnis. ''Orang suka bilang ini-itu punya Liem Sioe Liong. Gila apa? Tapi kalau orang lain suka pakai nama Liem, bisa bilang apa?'' katanya kepada majalah TEMPO, media massa Indonesia pertama yang mewawancarainya, Maret 1984.

Kelompok ini juga mengaku tidak selamanya bernasib mujur. ''Dihitung-hitung, ada sekitar sepuluh perusahaan yang kami tutup, karena kalah bersaing,'' ujar Anthony Salim, nomor dua dari empat putra Liem -- yang sering disebut-sebut sebagai ''putra mahkota''. Paling tidak terdapat sekitar 37 perusahaan yang bernaung di bawah SEDC.

Selain dikenal sebagai ''raja bank'', kelompok Liem juga disebut-sebut sebagai satu di antara ''raja semen'' di dunia. Dalam setiap usaha patungan, kelompok ini selalu menonjol sebagai pemilik saham terbesar. Dan langkah itu bukannya tanpa pertimbangan. Dengan memiliki 51% saham perusahaan Hagemeier di Belanda, misalnya, ''Kami bisa menentukan policy perusahaan,'' kata Liem. ''Juga supaya bisa mengawasi ekspor dari Indonesia, misalnya hasil bumi.''

Sejak 1982, gebrakan kelompok Liem di luar negeri semakin mantap. Ia membeli, antara lain, 80% saham Hibernia Banchares, San Francisco, disusul 54,4% saham Shanghai Land Investment. Tetapi, Maret 1986, ia tersandung dalam usaha penanaman modal di Provinsi Fujian, RRC, bekas daerah kelahirannya.

Di kawasan itu, di sebuah desa peternakan tiram di Teluk Meizhou, terdapat proyek pengilangan minyak senilai US$ 800 juta. Usaha ini merupakan patungan antara China Fujian Petroleum Co., China Petrochemical International Corp., Fujian Investment & Enterprise Ltd., dan China Pacific Petroleum Ltd. Perusahaan terakhir ini, menurut surat kabar The Asian Wall Street Journal, didaftarkan di Liberia, dan ''dikontrol oleh Mr. Liem''.

Sayang, usaha patungan itu terkatung-katung, paling tidak sudah setahun. Konon, pihak RRC terlalu banyak menuntut. Mereka juga, yang memang kurang berpengalaman dalam menyelenggarakan bisnis patungan, bingung oleh melonjaknya harga barang-barang impor yang dibutuhkan kilang minyak tersebut. Pihak Liem sendiri, menurut koran tersebut, tidak begitu ambil pusing dan siap-siap menarik diri.

Menjelang usia 70, taipan yang juga sering dipanggil sebagai ''Oom Liem'' ini mengaku tidak lagi bekerja terlalu keras. ''Setiap hari saya masuk kantor jam sepuluh pagi, lalu terima tamu,'' katanya. Ia tidak merokok, juga tidak menjamah minuman keras. Kegemarannya terbatas: jogging tujuh kilometer setiap pagi, dan, kabarnya, mengunjungi klub malam. ''Saya juga sudah jarang sekali teken cek,'' katanya.

Lalu, siapa yang akan menggantikan tahta si Oom? ''Semua anak sama,'' katanya. ''Yang perlu di sini teamwork. Yang bilang Anton bakal ganti saya itu orang luar.'' Ia, memang, seperti lebih menekankan perlunya tenaga profesional. Hal ini tampak, antara lain, pada keterlibatan Liem memelopori dan menangani beberapa lembaga pendidikan, misalnya Yayasan Tarumanegara dan Prasetiya Mulya.





KURNIA


Biasa berbusana rapi dan serasi, pendiri PT Hero Supermarket ini tampak lebih mirip seorang dokter ketimbang pengusaha. Cita-citanya sejak kecil memang menerjuni dunia bisnis. ''Saya merasa tidak mampu menjadi seorang dokter, atau insinyur,'' tuturnya.


Orangtuanya pengusaha toko kelontong, berjualan barang pecah belah, dan pakaian jadi. ''Semacam grocery store,'' katanya. Ketika ia berusia sembilan tahun, toko orangtuanya dibakar habis oleh tentara pendudukan Jepang.


Beberapa tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, mereka sekeluarga pindah ke Jakarta. ''Di tempat yang baru, orangtua saya merangkak lagi dari bawah, membuka toko kecil di Gang Lebar, Pintu Besar,'' ceritanya. ''Berjualan makanan dan minuman.''


Sejak itu, Kurnia bekerja membantu orangtuanya, seraya belajar berdagang. Pada 1950-an, ia bersama kakak sekandung mendirikan CV Hero. ''Modalnya dengkul, kerja keras, ulet, dan berhemat,'' tuturnya. Usaha itu berkembang. Ia kemudian berpikir tentang mengimpor barang secara kecil-kecilan.Setelah berusaha dan berpengalaman selama lebih dari 20 tahun, CV Hero dikukuhkan, dan diubah menjadi PT Hero Supermarket, 1973. Kini, perusahaan itu mempunyai delapan cabang di Jakarta. Toko swalayan yang pertama didirikannya di Jalan Falatehan, Kebayoran Baru. ''Usaha kami ini ditunjang kerja sama dengan Bambang Wiratmaji Soeharto, pimpinan suatu supermarket,'' ceritanya.


Dalam mengelola perusahaannya, Kurnia sangat memperhatikan dua hal: mempelajari dan mengembangkan teknik perdagangan, dan selalu memperbaiki pola dalam mengatur karyawan. ''Tegasnya, marketing dan personalia harus mendapat porsi penanganan secara serius,'' ujarnya. Didukung 700 karyawan, PT Hero Supermarket tidak bergerak di bidang usaha lain. Terhadap saingan, ia senantiasa bersikap tenang dan tidak menggebu-gebu. ''Yang penting, kami berusaha selalu meningkatkan pelayanan, melengkapi penyajian barang, dan menjaga mutu.''


Setiap hari Kurnia bangun pukul lima, segera sesudah itu jogging. Berangkat ke kantornya sebelum pukul delapan. Falsafah hidupnya, ''Kerja sebatas kemampuan, dan belajar tidak hanya lewat pendidikan formal.'' Seminggu dua kali, ia berenang. Tiap Sabtu dan Minggu, ia santai bersama keluarga.



Rusdi Mathari dan Priyanto Sukandar
Inilah George Djuhari, salah satu pengusaha muda yang memulai usahanya di saat krismon, dan terbukti sukses. Dari kondisi awal, yang ia sebut sebagai “tidak ada apa-apanya,” perusahaan yang dibangunnya sejak enam tahun silam itu kini berkembang menjadi delapan anak perusahaan dengan total aset US$ 40 juta. Untuk meraih kesuksesan tersebut, selain mengandalkan sistem pelayanan yang prima, sarjana teknik mesin ini juga membangun jaringan yang luas. Fondasinya adalah ketekunan.


Mengawali karir di Gesuri Lloyd pada tahun 1980, darah pengusaha pelayaran diwarisi George dari orang tuanya yang juga salah satu pemilik perusahaan ini. Gesuri Lloyd didirikan oleh orang tua George sejak tahun 1960. Meski orang tuanya adalah salah satu pemilik perusahaan besar, bukan berarti George bisa meraih semuanya dengan mudah. Di perusahaan ini, ia merintis karirnya bahkan dari bawah: sebagai karyawan magang. Belakangan terbukti bahwa pengalaman yang didapatnya di Gesuri Lloyd menjadi bekal yang berarti bagi usaha yang dirintisnya

Semua berawal pada tahun 1998. Waktu itu, George keluar dari Gesuri Lloyd dan memutuskan mendirikan perusahaan sendiri dengan bendera PT Bintang Anugerah Wahana Sejati. Kebetulan, orang tuanya juga menjual saham kepemilikannya di Gesuri Lloyd, yang sebagian hasilnya digunakan George untuk modal awal. Selain dengan modal sendiri, usaha ini juga didanai oleh pinjaman dari lembaga keuangan asing. “Membeli kapal sama saja seperti membeli rumah atau mobil, bisa ngredit,” tutur George. Bank atau lembaga keuangan, menurutnya, biasa memberikan pinjaman yang nilainya berkisar 70% hingga 80% dari nilai kapal.



Dalam membangun usaha sendiri, rupanya George tak sendirian. Bersama Hendry Djuhari, sang adik yang juga pemain di dunia pelayaran, jadilah George mengibarkan bendera bisnis pelayaran. Kebetulan pula, Erlyne, sang istri, terus menyemangatinya. Saat itu, apalagi di saat krismon, seperti kata George, perusahaannya memang “tidak ada apa-apanya.” Optimisme George hanya didukung oleh jaringan pertemanan dan relasi kuat yang terbentuk ketika bekerja di Gesuri Lloyd. Mereka inilah yang kemudian membantu George mengembangkan usahanya hingga mencapai posisi sebagai perusahaan pelayaran yang kini cukup disegani.



Ketika ditanya apa yang membuatnya tertarik mengembangkan dunia usaha pelayaran, George menjawab singkat. “Darah daging kami adalah usaha pelayaran. Keluarga dan saudara-saudara kami sebagian besar bergerak di bisnis ini,” kata George.



Layaknya hukum yang berlaku di dunia usaha, kata George, bisnis yang dirintisnya pun tak lepas dari gelombang pasang surut. Maklum saja, bisnis ini juga mengandalkan hukum permintaan dan penawaran. Pada saat kondisi permintaan naik, biasanya banyak orang membuat kapal atau menyuplai kapal. Namun pada saat penawaran begitu gencar, kadang order muatan malah sepi. Dalam kondisi seperti ini, biasanya kalangan perusahaan ekspedisi bersaing saling membanting tarif angkutan barang.



Meski begitu, menurut George, bisnis ini ada nilai lebihnya, yakni bisa membangun banyak hubungan sehingga memungkinkan bergaul dengan banyak kalangan, bahkan hingga ke berbagai negara.



Ketika merintis PT Bintang Anugerah Wahana Sejati, George memulainya dengan empat kapal yang mampu mengangkut barang curah dengan bobot 45 ribu ton. Kapal ini digunakan untuk mengangkut gandum, batu bara, dan kedelai. Usaha pengangkutan barang curah itu dipilih juga bukan tanpa alasan. Selain berpengalaman, menurut George, ketika di Gesuri Lloyd, ia juga telah memiliki pelanggan di sektor ini.



SEBUAH FENOMENA TERGOLONG LANGKA
Jalur pelayarannya berbeda-beda, dan sangat bergantung pada komoditi yang diangkut. Jika batu bara, armada kapal kargo milik George biasanya akan menyusuri jalur pelayaran dari Indonesia ke Cina. Sementara kalau gandum, trayeknya adalah dari Australia ke Indonesia dan Cina.



Menurut George, keuntungan yang didapat dari bisnis ini tergantung pada shipping market. Saat ini, misalnya, bisa dikatakan sebagai masa panen bagi usaha seperti yang dijalankan George. Sebab, sekarang, perusahaan pelayaran bisa memetik hasil lebih banyak lantaran didorong oleh kenaikan tarif angkutan. Tarif angkutan untuk batu bara, misalnya, sebelum tahun 2000 hanya dipatok tak lebih dari US$ 8 per ton. Sekarang, ongkos jasa angkut batu bara dari Indonesia ke Cina sudah naik jauh di atas US$ 8 per ton.



Kini, PT Bintang Anugerah Wahana Sejati telah memiliki tujuh kapal yang setiap unitnya mampu mengangkut barang seberat 45 ribu ton. Sukses yang sudah diraih George itu, menurut sejumlah kalangan dekatnya, bisa dibilang sebagai sebuah keajaiban. “Sebuah fenomena yang tergolong langka,” kata mereka.



Pada tahun 2000, ketika bangunan bisnisnya dianggap sudah kukuh, pengagum Jack Welch—Chief Executive Officer General Electric (GE)—ini berinisiatif mengembangkan usaha jasa angkutnya menjadi perusahaan multimoda, jasa bongkar muat barang dan jasa pengiriman ekspres. Itu sebuah terobosan yang jitu, karena pengguna jasa kargo biasanya menghendaki pelayanan yang menyeluruh, mulai dari pelayanan angkutan jasa pelayaran hingga pengiriman cepat.



George lalu mendirikan perusahaan induk dengan bendera PT Star Group. Belakangan, pada tahun 2003, nama Star Grup digantinya menjadi PT Bintang Biru. Nama terakhir ini, menurut George, berasal dari nama sebuah kapal dan lebih memiliki nilai jual.



Ke depan, kata George, dirinya tidak punya obsesi yang muluk-muluk, misalnya ingin menjadi raja kapal. Cita-citanya cukup sederhana, yakni hanya ingin bisa eksis di dunia pelayaran international. “Paling tidak, Bintang Anugerah Wahana Sejati dapat dikenal di dunia international,” kata bapak dua anak yang dikenal rajin berenang dan membaca buku itu. George juga dikenal sebagai sosok yang sederhana dan bukan tipe orang yang mudah sesumbar. Bahkan bisa dikatakan pemalu. Ketika majalah ini menghubunginya untuk wawancara, semula George enggan diekspos.



Di lingkungan kerjanya, peraih gelar B.Sc. bidang teknik mesin dari University of Ottawa, Kanada, ini juga dikenal sebagai bos yang tidak terlalu menyukai suasana formal. Di kantornya, ia tidak menempati ruangan khusus. Ia membaur bersama direksi lain dalam satu ruangan, dengan desain interior yang mengadopsi model Jepang. “Dengan berada dalam satu ruangan, komunikasi dengan rekan kerja menjadi lebih intensif,” ujar George.



Kepada karyawannya, George selalu menekankan agar bekerja tekun dan jujur. Ketekunan dan kejujuran, katanya, adalah pangkal keberhasilan. Atas semua kesuksesannya, penganut agama nasrani yang saleh ini juga berujar, “Saya bersyukur kepada Tuhan, dan berterima kasih kepada istri saya yang sangat mengerti pekerjaan saya.”


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Urban Designs